Kamis, 11 Juli 2013

Ini ceritaku, apa ceritamu?

Diposting oleh Unknown di 06.57

Menurut mereka, sakit itu manusiawi.
Menurut mereka, sakit itu tidak enak.
Menurut mereka, sakit itu cobaan.
Menurut mereka, sakit itu takdir.
Well, di satu sisi, menurutku sakit itu indah. Ibuku pernah bilang “kalo sakit ga boleh ngeluh, Allah akan ngurangin dosa kita sedikit demi sedikit lewat sakit itu”. And that’s why.


Appendicitis.
Baku. Terlalu baku bagi masyarakat yang tabu akan istilah penyakit menurut kedokteran. Ya, itu adalah nama penyakit. Penyakit yang sudah dianggap biasa namun efeknya luar biasa.
Appendicitis : Radang usus buntu.

26 februari 2013...
Sesuatu yang aneh telah melanda salah satu bagian dari tubuhku; perut. Sakit, nyeri, ngilu, dan segala macamnya berkecumbuk jadi satu. Awalnya kubiarkan sakit ini berlarut. Tapi, semakin kubiarkan sakit ini semakin jadi. Akhirnya orangtuaku memutuskan untuk membawaku ke puskesmas terdekat.
Wanita berparas cantik dengan baju putih kebesarannya langsung mendiagnosa bahwa ini adalah gejala Appendicitis, dan dia merujukku ke salah satu rumah sakit umum di bilangan Jakarta pusat. “harus di operasi dok memangnya?” Tanya ayahku seketika.
“ya, itu harus dilakukan. Saya harap tidak di tunda terlalu lama. Itu akan berbahaya” balas wanita paruh baya itu.
Aku hanya memandangi keduanya, dan beribu perasaan pun datang menyelimutiku.
Kabar yang sangat tidak kuharapkan keberadaannya ini akhirnya datang dan mencemaskan kami. Hanya pasrah dan memohon melalui rentetan doa yang bisa kulakukan saat ini, saat dimana semuanya terlihat menyeramkan di mataku, alat-alat itu, rumah sakit, dan segalanya.

Rs. Tarakan…
Setelah selesai mengantri dari 700 pasien lebih yang sudah hadir terlebih dahulu, akhirnya aku diantar ayah memasuki ruang poli bedah umum.
Dokter bermata sipit dan berkulit putih sudah menungguku di meja kerjanya. Sementara aku masih mengatur perasaanku; rasa cemasku.
Beberapa pertanyaan telah diajukan, pemeriksaan fisik pun telah dilakukan. Kini tinggal menunggu keputusan dari dokter muda itu. Tubuhku kembali menegang, aku masih belum percaya ini akan terjadi.
Setelah membuat beberapa catatan yang sama sekali tidak bisa kubaca karena tulisannya yang…. Ya itulah, dokter memberiku beberapa lembar kertas berisi seluruh pemeriksaan yang harus kujalani. Mulai dari cek darah, tes urine, rontgen thorax, dan usg.
Saat itu kurang lebih pukul 3 sore, aku selesai menjalani pemeriksaan di poli bedah. Kemudian ayahku bertanya pada seorang satpam, menurut satpam disana, lab yang masih buka saat itu adalah rontgen. Sementara yang lainnya sudah tutup dari satu jam yang lalu. Tak lama, kami langsung menuju lab rontgen dan segera melakukan pemeriksaan.

Hari berikutnya ayahku mengeluh. Kejauhan dan terlalu ramailah yang menjadi kendala. Pada akhirnya orangtuaku kembali ke puskesmas dan meminta rujukannya diubah, yaitu ke rs.cengkareng.

Rs. Cengkareng…
Setelah diperiksa oleh dokter yang sepertinya sudah tidak muda lagi, dan kumisnya tidak mau kalah dari foke, kejadian seperti di puskesmas pun terulang. Tanpa basa-basi dokter langsung mendiagnosa bahwa ini adalah gejala Appendicitis, lalu beliau langsung meminta persetujuan operasi dari ayahku.
Bagaimana perasaanku? Seperti ini: asdfghjklqwertyuiopzxcvbnm.
Dan beliau juga menyuruhku untuk melakukan beberapa pemeriksaan yang sama persis seperti tarakan.

“siap-siap untuk operasi yaa” ucap salah seorang dokter ketika pemeriksaan anastesi (bius) selesai.
“iya dok” balasku sambil berupaya memasang senyum seramah mungkin.

17 maret 2013…
Aku dan beberapa keluarga terdekatku memasuki rumah sakit dengan membawa beberapa pakaian dalam 2 tas berukuran lumayan besar.
Saat itu hari minggu, hari pertama aku masuk rumah sakit, hari pra-operasi, hari dimana aku akan mulai bertarung melawan rasa takutku.
Setelah menyelesaikan administrasi, kami diantar oleh salah seorang staff menuju lantai atas, menuju kamar yang akan aku inapi beberapa hari kedepan tepatnya.
Malamnya, tangan kiriku dimasukkan 2 suntikkan kecil yang masing-masing punya peran berbeda. Yang satu untuk memasang tempat infus dan satunya lagi untuk mengetes apakah antibiotic yang akan dimasukkan ketubuhku membuatku alergi atau tidak.

18 maret 2013…
Pukul 08.00 wib aku mulai puasa, ya, puasa operasi. Sampai kapannya belum tahu, yang pasti, setelah selesai operasi.
16.00 wib. Setelah mengganti baju dengan pakaian operasi, dan setelah suster memasang cairan infus, aku di dorong dengan kasur menuju ruang operasi yang letaknya berada di lantai 3.
Ruang Operasi. Tulisannya lumayan besar, sehingga aku dapat membacanya walau hanya sekilas. Sampai disana, aku dipindah dari kasur kamarku ke kasur yang ada di lobby ruang operasi.
Lagi-lagi pikiranku bercabang, lagi-lagi rasa cemas dan takutku datang, lagi-lagi…
Aku sedang berada di lobby ruang operasi, ruang yang dinginnya bagaikan 11,12 dengan kutub, sangat dingin.
Tak lama, seorang ibu muda datang dengan baju sama sepertiku. Ya, dia juga akan dioperasi. Hanya saja, dia akan operasi Caesar bukan Appendictomy sepertiku.
Dia masih memegangi perutnya sedari tadi, rintihannya pun sesekali terdengar. Aku menoleh, lalu tatapan kami beradu. Kemudian dia mulai membuka pembicaraan.
“udah… bulan?”
“hah?” tanyaku. Suaranya sedikit samar, sehingga aku menyuruhnya mengulang.
“udah berapa bulan?” ulangnya.
“disini?”
Dia mengangguk.
“baru kemarin sih” balasku lalu tersenyum.
“bukan. Itunya.. udah berapa bulan? Tanyanya lagi.
“hah? Engga, bukan. Mau operasi usus buntu”
Saat ini, saat dimana aku sedang dalam posisi cemas dan rasa takutku yang mulai meluap, masih saja ada yang membuat… lucu.
Dan lantas aku berpikir, apakah dia tidak bisa membedakan mana muka yang masih lucu dan muka yang sudah dewasa?
Ibu muda itu kembali ke posisi semula, merintih kesakitan sambil memegangi perutnya. Aku yang tak tega melihatnya langsung menatapnya lalu berkata “sabar yaa”
Ibu itu tersenyum, tapi masih dalam keadaan memegang perutnya.
Karena tak ada pemandangan lain yang lebih ‘bagus’, akhirnya aku hanya memandangi cairan infusku yang tiap beberapa detik sekali turun dan menjalar ke tubuhku. Menurutku, itulah yang paling bagus daripada harus melihat beberapa suster dan dokter yang berlalu lalang dengan seragam hijaunya. Miris.

Waktu pun berlalu. Setelah seorang suster menanyakan beberapa hal yang ada hubungannya dengan proses operasi, aku di dorong kembali masuk ke dalam ruangan yang daritadi tertutup. Dan tak kusangka, di dalam ruangan itu terdapat beberapa tempat operasi yang berdampingan, dibagi menjadi 4, yaitu A,B,C&D. seperti garasi, tertutup, gelap, banyak lampu sorot, dan banyak alat ekstrim sepanjang mata memandang, satu hal lagi, ruangan ini sangat luas.
Aku masuk ke dalam ruang A. disana, dokter Aplin sudah menunggu.
Setelah berpindah kasur untuk yang kesekian kalinya, aku di bius melalui suntikkan yang tak bisa kulihat bentuknya. Dokter itu menyuntik punggungku. Sakit, iya sakit. Sakit bgt:’)
Kakiku mulai terasa kesemutan, dan dokter dengan segera merebahkanku di atas kasur khusus operasi. Tak lama kemudian setengah badanku kaku, tak bisa digerakkan sama sekali, lumpuh. Tepat di atas badanku lampu sorot sudah mulai menyala, tangan kananku dipasang alat tensi otomatis yang tiap beberapa menit sekali akan bekerja, di tangan kiriku ada infus dan satu lagi aku tak tahu namanya. Hidungku dimasuki selang oksigen, dan yang lainnya lagi aku tak tahu.
Dalam hati aku terus memohon, lancarkanlah operasiku kali ini ya Allah.
Kain hijau panjang direntangkan di atas dada, tujuannya untuk menutupi mataku agar selama proses operasi aku tak bisa melihatnya. Berhubung aku hanya di bius local, jadi aku tidak tertidur selama operasi, dalam pengertiannya aku sadar. Dan hanya setengah tubuhku yang “lumpuh”.
Dokter sudah mengerumuniku, tepatnya mengerumuni perutku. Lalu mereka beraksi…..

Selesai. Aku bahagia operasiku lancar. Bahkan, beberapa hal yang tadinya kutakuti tidak terjadi.
Aku kembali di dorong ke lobby ruang operasi. Dan hal yang kurasakan saat itu adalah mual dan dingin. Suhu ruangan yang mungkin melebihi kurang dari 10o c ini mampu menembus selimutku. aku menggigil, bibirku gemetar. Dan upayaku untuk menghangatkan tubuh telah kulakukan semampuku, tapi apa daya, tak berhasil.
Menurut dokter ini wajar, semua yang habis menjalankan operasi pasti akan merasakan hal yang sama sepertiku. Ya.. begitulah.

Mereka tersenyum, raut wajah mereka terlihat bahagia ketika melihatku utuh setelah keluar dari ruang operasi. Aku melihat ibuku, lalu yang kuucapkan saat itu hanyalah “dingin”. Dengan segera beliau memberiku baju yang sebenarnya sama sekali tidak berpengaruh. Rasa dingin ini telah menembus tulangku.

19 maret 2013…
Pelayan makanan membawakan bubur dan teh hangat untukku. Setelah semalam aku mencoba meminum susu hangat pelan-pelan, tapi ternyata sakitnya bukan main, dan kali ini aku berharap sakitnya menghilang. Harapanku tak berbuah,  sakit ini makin menjadi. Berbicara pun sakit, apalagi mengkonsumsi makanan.
Aku mencoba menahan tangis, tapi tak kuasa. Terlalu sakit bagiku.
Seharian itu aku menangis. Aku tahu ini cengeng. Tapi aku tak sanggup menahan sakit bekas operasi yang menurutku sakitnya melebihi apapun.
“memang sakit, namanya juga abis operasi” ucap salah seorang suster yang akan menyuntikkan obat kepadaku.
pagi 3x. sore 3x. Total sehari 6x disuntik. Sakit? iya. sangat sakit. Tapi aku tidak ingin terus mengeluh. Aku mengerahkan seluruh tenagaku untuk menahan. ya, menahan sakit.

Lima hari.
Bukan waktu yang singkat aku menginap di rumah sakit yang cukup terbilang besar ini.
Aku sudah bisa berjalan, walau jalannya seperti nenek-nenek yang tidak memakai tongkat. Pelan tapi pasti sakitnya memudar walaupun untuk bergerak sedikitpun aku  masih harus menahan nyeri.
Aku akan pulang, tapi aku masih harus disuntik obat pagi ini. Suntikkan kedua cukup besar. Tanganku menegang, aku mencoba tak memanatap tanganku yang sedang ditusuk, lalu menggigit bibir untuk menahan tangis. Pilu. Beberapa menit kemudian tangan kiriku membengkak di sekitar tempat suntikkan. Ini bukan hal aneh dalam kedokteran. Tetapi bagiku, ini sangat aneh. Suster muda itu tidak melanjutkan suntikan terakhirnya, aku pun bersyukur. Namun, bengkak ini seakan menggantikan suntikan terakhir itu. Bahkan rasa sakitnya melebihi suntikkan.
Setelah tempat infus dicabut yang lagi-lagi menimbulkan rasa sakit, aku turun ke lantai dasar diantar oleh suster dan orangtuaku dengan kursi roda. Kaya orang sakit ya:’)
Hari ini aku pulang, dan berharap ini adalah pertama dan terakhir dalam hidupku untuk berurusan dengan operasi.

Aku sudah kembali. Menjalani kegiatanku seperti biasa.
Walaupun diawal kubilang sakit itu indah, tapi percayalah, sesungguhnya sakit itu sakit.
Ini 100% pengalamanku. Bagaimana pengalamanmu?

S

0 komentar:

Posting Komentar

 

The Rainbow Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos